4.3.2. Tepung Daun
Pisang
Tanaman pisang mempunyai sitematika sebagai berikut :
Kelas : Monocotiledon
Famili :
Musaceae
Spesies : Musa paradisiaca yaitu pisang-pisang
yang enak dimakan, Musa texcilisnoe
yaitu pisang-pisang yang hanya diambil pelepah batangnya dan Musa sebrina van hautte yang merupakan
tanaman pisang liar yang hanya ditanam sebagai hiasan.
Menurut
kegunaannya tanaman pisang dibagi menjadi dua, yaitu musa paradisica forma
typica yang merupakan golongan tanaman pisang yang buahnya dapat dimakan
setelah diolah terlebih dahulu dan pisang yang dapat dimakan setelah masak
(buah segar) yang masuk ke dalam golongan musa paradisica var. sapientum dan
Musa nana L. atau musa cavendisher
Tanaman pisang berasal dari Asia Tenggara. Gambar tanaman pisang dapat dilihat pada Gambar 4.5.
|
|
Perbandingan kandungan nutrisi tepung daun pisang dan
tingginya kandungan karbohidrat dan energi dalam daun pisang dapat dilihat pada
Tabel 4.15. dan 4.16.
Tabel 4.15. Perbandingan kandungan nutrisi tepung daun
pisang dengan bahan pakan yang lain.
No.
|
Kandungan
nutrisi
|
Macam
daun
|
|||
|
|
Ketela
|
Lamtoro
|
Rumput
gajah
|
Pisang
|
1.
|
Air
(g)
|
9.96
|
7.76
|
9.50
|
9.52
|
2.
|
Abu
(g)
|
7.32
|
6.90
|
8.59
|
5.52
|
3.
|
Lemak
(g)
|
3.21
|
3.34
|
3.52
|
4.31
|
4.
|
Protein
(g)
|
13.79
|
14.10
|
10.15
|
9.22
|
5.
|
Serat
kasar (g)
|
24.13
|
19.60
|
16.52
|
15.21
|
6.
|
Karbohidrat
(g)
|
43.00
|
28.30
|
28.31
|
33.10
|
7.
|
Energi
met. (kkal)
|
247.00
|
199.50
|
183.00
|
244.00
|
|
|
|
|
|
|
Sumber
: Santoso (1989)
Tabel 4.16. Kandungan nutrisi tepung daun pisang
No.
|
Zat
makanan
|
Kandungan
|
|
|
|
1.
|
Energi
metabolis (kkal)
|
2573.100
|
2.
|
Bahan
kering (%)
|
88.934
|
3.
|
Protein
(%)
|
14.758
|
4.
|
Serat
kasar (%)
|
17.905
|
5.
|
Lemak
(%)
|
7.790
|
6.
|
Abu
(%)
|
5.603
|
7.
|
Karbohidrat
(%)
|
60.803
|
8.
|
Kalsium
(%)
|
0.513
|
9.
|
Fosfor
(%)
|
0.160
|
10.
|
Tannin
(%)
|
0.822
|
11.
|
Alanin
(%)
|
0.585
|
12.
|
Arginin
(%)
|
0.466
|
13.
|
Aspartat
(%)
|
0.868
|
14.
|
Sistin
(%)
|
0.017
|
15.
|
Glisin
(%)
|
0.466
|
16.
|
Glutamat
(%)
|
1.255
|
17.
|
Histidin
(%)
|
0.173
|
18.
|
Isoleusin
(%)
|
0.433
|
19.
|
Leusin
(%)
|
0.740
|
20.
|
Lisin
(%)
|
0.418
|
21.
|
Metionin
(%)
|
0.148
|
22.
|
Fenilalanin
(%)
|
0.431
|
23.
|
Prolin
(%)
|
0.413
|
24.
|
Serin
(%)
|
0.306
|
25.
|
Treonin
(%)
|
0.373
|
26.
|
Triptofan
(%)
|
0.230
|
27.
|
Valin
(%)
|
0.550
|
Sumber
: Trisaksono (1994)
Kelemahan
daun pisang sebagai alternatif bahan pakan unggas adalah adanya faktor pembatas
yaitu kandungan tannin. Ada dua golongan
tannin di dalam daun pisang yaitu tannin yang bebas yang dapat menyebabkan rasa
pahit dan tannin tidak bebas yang sedikit pengaruhnya terhadap
palatabilitas. Tannin merupakan polimer
fenol yang dapat menurunkan palatabilitas, menghambat kerja enzim dan mempunyai
kemampuan untuk mengikat protein. Pada
unggas, tannin menyebabkan kejadian penurunan konsumsi. Selain itu juga mengurangi daya cerna
protein karena menghambat aktivitas enzim proteolitik khususnya tripsin. Tannin juga menyebabkan retensi nitrogen
tertekan dan mengakibatkan penurunan daya cerna asam amino. Daun pisang dapat digunakan sebagai bahan
pakan ayam dan mempunyai pengaruh
yang baik terhadap
pertumbuhan ayam petelur
(Santoso et al, 1984).
Selanjutnya
dilaporkan juga bahwa aras pemberian tepung daun pisang sebesar 9 persen dalam
pakan sebagai pengganti daun lamtoro tidak banyak mempengaruhi konsumsi,
konversi dan efisiensi pakan ayam broiler.
Berdasarkan analisis ekonomi, pemberian tepung daun pisang ternyata
lebih ekonomis dari pada daun lamtoro.
Rismunandar (1989) menyatakan bahwa daun pisang dapat digunakan untuk
makanan sapi dan kerbau pada waktu musim kemarau apabila kekurangan rumput.
Penelitian
Trisaksono (1994) menunjukkan bahwa pemberian tepung daun pisang yang
ditambahkan enzim sellulase menunjukkan semakin meningkat aras pemberian tepung
daun pisang memberi efek terhadap peningkatan konsumsi pakan yang maksimum pada
aras pemberian 10 persen, tetapi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap
konversi pakan. Selanjutnya dinyatakan
bahwa pemberian tepung daun pisang yang paling baik digunakan sebagai bahan
campuran dalam pakan adalah aras 20 persen karena dari hasil analisis varian
memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap konversi pakan.
Manihot
esculenta Crants atau ubi kayu termasuk famili Euphorbiacease. Tanaman ubi kayu bukan merupakan tanaman asli Indonesia,
melainkan berasal dari Amerika Selatan.
Walaupun demikian Indonesia merupakan penghasil ubi kayu nomor satu di
dunia dan disusul oleh Brazilia.
Daun ubi
kayu dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Variatas ubi kayu dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu
varietas manis yang mengandung kurang dari 0.01% HCN dan varietas pahit yang
mengandung 0.02 - 0.03% HCN. Variatas
manis misalnya varietas Ambon, varietas Gading dan varietas adira. Sedangkan varietas pahit adalah varietas Valencia,
varietas Pandensi, varietas Muara, varietas Bogor dan varietas Faroka. Ubi kayu pahit
ditanam untuk keperluan industri seperti industri tapioka. Ubi kayu varietas Valencia dapat dipotong 40
cm (daun dan batangnya yang masih hijau) setiap tiga bulan tanpa mempengaruhi
produksi ubinya, sedangkan kandungan protein daunnya sebesar 25,9 persen. Namun di Indonesia pemetikan daun dua kali
dalam setahun hasil ubinya akan lebih baik.
Helai daun
dibandingkan dengan tangkai dan batang merupakan bagian terendah serat kasarnya
dan paling tinggi kandungan proteinnya.
Oleh sebab itu daun ubi kayu dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak
unggas. Kandungan protein daun ubi kayu
bervariasi bergantung dari varietas, kesuburan tanah, komposisi campuran daun
dan tangkai daun serta umur tanam.
Daun ubi
kayu segar dan kering mempunyai kandungan kalsium yang tinggi tetapi kandungan
fosfornya rendah jika dibandingkan dengan jagung dan sorghum. Daun ubi kayu segar mengandung aam askorbat
tinggi yaitu 0,4 - 1,8 per kg, mengandung cukup banyak vitamin B dan karoten
tetapi kandungan vitamin E sangat rendah.
Kandungan protein pada ubi tua yaitu daun dari tangkai ke enam sampai
tangkai ke sepuluh lebih tinggi dibandingkan daun muda, yaitu pucuk sampai
tangkai ke lima, masing-masing sebesar 26,45 persen dan 25,45 persen.
Hasil
utama yang diberikan oleh daun ubi kayu adalah protein, karbohidrat, dan vitamin.
Daun ubi kayu mengandung kurang lebih 25,8 sampai 27,3 persen protein
kasar, 7,6 - 10,5 persen lemak, 5,7 - 8,8 persen serat kasar dan 50,1 - 51,9
persen BETN dari bahan kering. Kandungan
nutrisi tersebut bergantung pada umur, waktu panen, varietas, kondisi tanah dan
cara pengolahannya. Kandungan nutrisi
tepung daun ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 5.4. dan 5.5.
Tabel 5.4. Kandungan nutrisi tepung daun ubi kayu
No.
|
Zat makanan
|
Kandungan
|
|
|
|
1.
|
Protein
(%)
|
27,00
|
2.
|
Serat
kasar (%)
|
16,00
|
3.
|
Lemak
kasar (%)
|
7,00
|
4.
|
Energi
(kkal/kg)
|
1991,00
|
5.
|
Bahan
kering (%)
|
81,50
|
|
|
|
Sumber : Gohl (1981)
No.
|
Asam amino
|
Kandungan (%)
|
1.
|
Arginin
|
1,33
|
2.
|
Histidin
|
0,55
|
3.
|
Isoleusin
|
1,32
|
4.
|
Leusin
|
2,67
|
5.
|
Lisin
|
1,80
|
6.
|
Metionin
|
0,25
|
7.
|
Fenilalanin
|
-
|
8.
|
Treonin
|
1,30
|
9.
|
Triptofan
|
0,25
|
10.
|
Valin
|
1,73
|
|
|
|
Sumber : Gohl (1981)
Kandungan protein dan lemak daun ubi
kayu lebih tinggi serta sedikit mengandung serat kasar dan abu bila dipanen
pada umur 217 hari dibandingkan bila dipanen pada umur 305 hari. Protein daun ubi kayu defisien asam amino
yang mengandung sulfur yaitu metionin, mempunyai kalsium yang tinggi tetapi
kandungan fosfornya rendah.
Daun ubi kayu mengandung dua
glukosida sianogenik yaitu linamarin sebanyak 93 persen dari total glukosida
dan luteustralin sebesar 7 persen. Bila
dihidrolisis oleh asam atau enzim, maka senyawa ini akan menghasilkan asam
sianida (HCN) yang beracun bagi ternak.
Dengan adanya metionin dalam ransum, asam sianida hasil hidrolisis
linamarin dan luteustralin akan mengalami detoksifikasi. Untuk mengurangi kandungan asam sianida dalam
daun ubi kayu dapat dilakukan dengan pengeringan, perendaman, dan pemasakan.
Penjemuran daun ubi kayu dapat
dilakukan selama tiga minggu atau dengan perebusan akan menurunkan kandungan
asam sianida. Perendaman dalam air selama lima hari dapat menurunkan
asam sianida dari 97 persen menjadi 45 persen.
Cara pengeringan menggunakan sumber panas matahari merupakan cara yang
paling murah dan mudah dilakukan oleh peternak di pedesaan. Selain dapat menurunkan kadar asam sianida
dalam daun ubi kayu, juga mencegah kejadian penjamuran, memudahkan penyimpanan
dan tidak banyak membutuhkan tempat serta dapat sebagai persediaan bahan pakan
pada saat sulit mencari pakan. Pengeringan
menggunakan oven pada suhu 45 - 55oC dapat menurunkan 75 persen
kadar glukosida. Daun ubi kayu bila
dipanen pada umur lima bulan maka racun asam sianida tidak menjadi masalah,
karena pada umur tersebut kandungan asam sianidanya rendah yaitu setiap 100
gram daun ubi kayu mengandung 7,25 mg asam sianida.
Menurut
Vogt (1966) penggunaan tepung daun ubi kayu dengan level 10 persen dalam ransum
ayam pedaging mendapatkan hasil yang memuaskan tetapi penggunaan tepung daun
ubi kayu lebih dari 20 persen dalam ransum mengakibatkan depresi
pertumbuhan. Penggunaan tepung daun ubi
kayu dengan level 20 persen menunjukkan penurunan pertambahan bobot badan dan
konversi pakan (Roos dan Enrques, 1969).
Daun ubi kayu sebelum diberikan pada unggas terlebih dahulu diolah untuk
menurunkan kadar asam sianida.
Penggunaan daun ubi kayu dapat diberikan pada ayam pedaging sebanyak 10
persen dari jumlah ransumnya (Parakkasi, 1983).
Hasil penelitian Siriwardene dan Ranaweera (1974) menunjukkan penggunaan
tepung daun ubi kayu sampai dengan pemberian 10 persen tidak memberi pengaruh
yang nyata terhadap pertambahan bobot badan dan konversi pakan ayam pedaging. Sedangkan hasil penelitian Wadia (1989)
menunjukkan penggunaan 5 persen tepung daun ubi kayu varietas faroka dalam
ransum ayam pedaging periode awal memberikan pertambahan bobot badan yang
tertinggi dibandingkan dengan penggunaan 10 dan 15 persen. Hasil penelitian Agudelo dan Bentdetti (1980)
menunjukkan penggunaan tepung daun ubi kayu sampai level 15 persen tidak
berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan ayam pedaging.
Hasil penelitian Siswantoro (1994) menunjukkan penggunaan
tepung daun ubi kayu sampai kadar 20 persen berpengaruh sangat nyata terhadap
konsumsi pakan dan bobot badan, sedangkan pada efisiensi pakan dan income
over feed cost tidak berpengaruh nyata.
Selanjutnya hasil penelitian Arifin (1995) memperlihatkan semakin tinggi
aras penggunaan tepung daun ubi kayu varietas Adira 1 mengakibatkan penurunan
konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan itik Mojosari jantan periode finisher. Hal ini mengakibatkan pula semakin tinggi konversi pakan
itik Mojosari. Sehingga disarankan untuk
membatasi penggunaan tepung daun ubi kayu varietas Adira 1 dalam campuran pakan
itik Mojosari periode finisher karena
adanya anti nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan.
Tanaman
kapuk yang terdapat kapuk di Indonesia sebenarnya termasuk jenis komersial yang
mempunyai mutu yang sangat baik.
Sedangkan di pasaran dunia, kapuk dikenal sebagai kapuk Jawa, yang
dihasilkan dari tanaman kapuk dengan nama botani Ceiba petandra Gaertner. Tanaman kapuk dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Tanaman kapuk (www.ceiba.gov.do/2004/ images/ceiba/ ceiba.jpg)
Bungkil
biji kapuk dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak karena mempunyai nilai
gizi yang tinggi salah satunya adalah kandungan protein yang cukup tinggi.
Seperti halnya bungkil-bungkilan lain, bungkil biji kapuk mempunyai protein
kasar yang cukup tinggi (+ 28%)
Dari
hasil analisis proximat di laboratorium IPB didapatkan hasil komposisi bungkil
biji kapuk sebagai berikut: air sebesar 9,98 - 11,29%, rotein kasar sebesar
26,99 - 2,66%, lemak kasar sebesar 5,25 - 9,48%, serat kasar sebesar 23,75 -
28,76, bahan ekstrak tanpa N sebesar
21,10 - 22,51%; abu sebesar 5,98 - 6,35%; kalsium sebesar 0,36 - 0,42% dan
fosfor sebesar 0,58 - 0,78%.
Kandungan nutrisi bungkil biji kapuk menurut Oke (1978)
dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Kandungan nutrisi bungkil biji kapuk
No.
|
Zat
makanan
|
Sumber
dari
|
||||
|
|
Lubis
(1963)
|
B.P.
Surabaya (1970)
|
Muller
(1971)
|
Anonim
(1976)
|
Hartadi
et al (1986)
|
1.
|
Protein
(%)
|
27.4
|
30.9
|
28.6
|
37.6
|
27.3
|
2.
|
Serat
kasar (%)
|
25.3
|
27.0
|
24.6
|
30.2
|
20.6
|
3.
|
Lemak
(%)
|
5.6
|
3.2
|
7.2
|
6.7
|
8.3
|
4.
|
Abu
(%)
|
7.6
|
-
|
7.1
|
8.3
|
6.8
|
5.
|
BETN
(%)
|
18.1
|
-
|
-
|
22.2
|
23.0
|
|
|
|
|
|
|
|
Sumber
: * Oke (1978)
Bungkil
biji kapuk selain mengandung zat-zat pakan yang tinggi juga menghasilkan
beberapa faktor pembatas diantaranya zat anti nutrisi berupa asam
siklopropinoid sebesar 10 - 13% dan adanya selulosa yang dapat menurunkan daya
cerna ternak. Faktor pembatas ini mempunyai sifat sebagai obat bius, karena
mempunyai palatabilitas rendah penggunaannya sebagai bahan pakan ternak perlu
dibatasi.
Dinyatakan oleh Jahi (1974) bahwa penambahan bungkil biji
kapuk sebanyak 2% dalam ransum basal yang terdiri dari jagung kuning 37%; dedak
halus 25%; kacang hijau 5%; kacang kedele 6%; kacang merah 5%; bungkil kacang
tanah 8%, ikan teri 10%; campuran mineral 4% dapat memperbaiki pertumbuhan
anak-anak ayam. Sedangkan untuk fase grower
dan finisher karena kondisi tubuh dan
alat pencernaan sudah berkembang dengan baik maka ayam dapat menerima ransum
yang mengandung 10 - 15% bungkil biji kapuk. Ayam broiler menurut hasil yang
diteliti oleh Gunawan (1981) dinyatakan bahwa pemberian bungkil biji kapuk 5%
dalam ransum pada ayam umur 1 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap pertumbuhan dan banyaknya ransum pada anak-anak ayam dapat diberikan
antara 2-5% bungkil biji kapuk.
Bagaimana pakan itu bekerja dalam sistem metabolisme
tubuh unggas itu sendiri, disini gambarannya adalah siklopropinoid karena
sifatnya berefek penenang (obat bius) akibatnya adalah dapat merubah
metabolisme lemak dimana komposisi lemak berubah yaitu lebih banyak asam lemak
yang mengandung stearat daripada oleat, dan akhirnya asam lemak stearat ini
sulit terdegradasi dan diserap oleh usus
sehingga terjadi penimbunan lemak yang tinggi. Selain itu adanya gangguan pada
metabolisme pakan sehingga penyerapan zat-zat makanan menjadi lambat.
Gejala-gejala keracunan yang terlihat pada ternak unggas
mengkonsumsi bungkil biji kapuk antara lain sebagai berikut: penurunan produksi telur, penurunan
efisisiensi penggunaan pakan, penurunan selera makan, penurunan bobot badan,
penurunan fertilitas, penurunan daya tetas, penurunan pertumbuhan, penurunan
tekanan darah, perubahan warna putih telur, muntah-muntah, dilatasi dinding
pembuluh darah, dan terjadi kematian.
Oleh karena itu, cara pencegahan yang dapat dilakukan
dalam mengatasi masalah keracunan diatas adalah apabila sebelum digunakan,
dinetralkan terlebih dahulu dengan berbagai cara misalnya dengan proses
sulfitasi yaitu dengan cara mengalirkan sulfur dioksida terhadap minyak
stercula faebida (pada minyak biji kapuk) yang mengandung asam sterculat yang
dapat merusak cincin siklopropena dan merusak reaktifitas Halpen atau
memberikan reaksi negatif terhadap uji Halpen dari minyak secara total. Jadi
apabila bungkil bini karet tersebut digunakan sebagai pakan ternak maka
siklopropinoid sudah bersifat netral dan sudah tidak berbahaya bagi ternak.
Dalam dunia
tumbuhan, tanaman karet mempunyai kedudukan taksonomi sebagai
berikut.
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea brasiliensis
Indonesia
merupakan salah satu negara produsen karet alam terbesar di dunia disamping
Malaysia dan Thailand. Pada tahun 1996,
produksi karet Indonesia mencapati 1.543.000 ton. Sedangkan Malaysia dan Thailand memproduksi
masing-masing 1.082.500 ton dan 1.978.000 ton pada tahun yang sama.
Keunggulan
Indonesia dalam peningkatan produksi karet untuk masa yang akan datang adalah
pada masih tersedianya cukup besar lahan ditropis yang sesuai untuk penanaman
karet. Kalau produksi karet Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari
1.256.000 ton pada tahun 1986 menjadi 1.543.000 ton pada tahun 1996, maka
produksi karet Malaysia turun dari 1.415.600 ton menjadi 1.082.500 ton dalam
kurun waktu yang sama. Negara-negara
produsen karet lainnya di dunia dan besarnya produksi masing-masing dapat
dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Negara
dan jumlah produksi karet pada tahun 1996
No
|
Negara
|
Produksi (ton)
|
1
|
Malaysia
|
1.082.500
|
2
|
Indonesia
|
1.543.000
|
3
|
Thailand
|
1978
|
4
|
Sri Langka
|
112.5
|
5
|
Vietnam
|
132
|
6
|
Kamboja
|
43
|
7
|
India
|
540.2
|
8
|
Myanmar
|
20
|
9
|
China
|
430.9
|
10
|
Philipina
|
64
|
11
|
Nigeria
|
91
|
12
|
Lain-lainnya
|
302.9
|
Sumber
: Statistik Perkebunan Indonesia 1996-1998 (karet), Ditjen Perkebunan
Karet
merupakan komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya
peningkatan devisa Indonesia. Ekspor
Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan
dari 788.292 ton pada tahun 1975 meningkat menjadi 987.771 ton pada tahun 1985
dan menjadi 1.324.295 ton pada tahun 1995.
Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 1995 mencapai US$ 1.962,8
juta yang merupakan 5,6% dari pendapatan devisa non-migas.
Sejumlah
lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet,
sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Jawa. Luas area perkebunan karet tahun 1995
tercatat mencapai lebih dari 3.945.901 ha yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Diantaranya
84,5% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7,1% perkebunan besar
negara serta 8,4% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun
1977 mencapai angka sekitar 1.548.609 ton.
Indonesia merupakan salah satu negara
penghasil karet alam yang
terbesar di dunia. Luas areal perkebunan
karet pada tahun 1989 adalah 3.090.000 hektar dengan produksi karet
sebesar 1.270.000 megaton.
Indonesia tidak mengalami kesulitan mengenai areal yang
dibuka untuk ditanami karet.
Karet dapat tumbuh dengan subur hampir di seluruh daerah
Indonesia. Tanaman karet tumbuh dengan baik di daerah tropik yang
terletak antara 15oLU - 10oLS, pada ketinggian
tempat 1 - 600 meter di atas tempat laut, dengan suhu berkisar 25oC
- 30oC, dan curah hujan 2.000 - 2.500 milimeter yang
merata sepanjang tahun, intensitas sinar matahari 5 - 7 jam per
hari, pada tanah rata tidak berbukit-bukit dan pH tanah berkisar
5 - 6. Tanaman karet yang dikelola
pihak perkebunan dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Perkebunan tanaman karet
Gambar 5.1. Bagan tanaman karet (http://snow.prohosting.com/botanika/
Images/hevea_brasiliensis.jpg)
Bungkil biji karet didapat dari sisa akhir
pengambilan minyak biji karet.
Bungkil biji karet mempunyai nilai nutrisi yang tinggi,
sehingga baik digunakan sebagai bahan pakan ternak. Dari hasil analisis proksimat diperoleh
struktur kimia dalam bungkil biji karet yang bervariasi seperti terlihat pada
Tabel 5.9.
Tabel
5.9. Struktur kimia
bungkil biji karet
|
Kandungan
nutrisi
|
|||||
Analisa
proksimat dari
|
Energi
metabolis (kkal/kg)
|
Bahan
kering (%)
|
Protein
kasar (%)
|
Serat
kasar (%)
|
Lemak
kasar (%)
|
Abu
(%)
|
1
|
-
|
92.00
|
25.10
|
15.40
|
11.60
|
4.60
|
2
|
2550
|
94.11
|
26.70
|
12.30
|
8.20
|
4.49
|
3
|
2380
|
90.70
|
26.70
|
10.80
|
3.80
|
-
|
4
|
-
|
-
|
34.12
|
20.43
|
11.97
|
7.32
|
5
|
-
|
91.60
|
26.49
|
14.27
|
12.90
|
5.93
|
Keterangan : 1. Ong
dan Yeong (1977)
2. Toh dan Chia (1977)
3. Gohl (1981)
4. Karossi dkk (1985)
5. Aboenawan (1992)
Bungkil biji karet digolongkan sebagai bahan pakan
sumber protein. Kandungan protein
bungkil biji karet berkisar 25 sampai 35 persen. Bungkil biji karet bermanfaat
sebagai substitusi bahan
pakan sumber protein. Kandungan
asam amino bungkil biji karet lengkap tetapi mempunyai
kandungan metionin dan lisin yang rendah.
Komposisi asam amino bungkil biji karet dapat dilihat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Komposisi asam amino bungkil biji karet
No.
|
Asam
amino (%)
|
1
|
2
|
3
|
1
|
Lisin
|
0.70
|
0.48
|
0.56
|
2
|
Metionin
|
0.28
|
0.17
|
0.21
|
3
|
Triptofan
|
-
|
-
|
0.62
|
4
|
Histidin
|
-
|
0.29
|
0.82
|
5
|
Fenilalanin
|
0.78
|
0.62
|
0.69
|
6
|
Leusin
|
0.90
|
1.40
|
0.69
|
7
|
Isoleusin
|
0.70
|
0.51
|
1.14
|
8
|
Treonin
|
0.73
|
0.50
|
0.50
|
9
|
Valin
|
1.06
|
1.53
|
0.39
|
10
|
Glisin
|
0.93
|
0.59
|
0.42
|
Keterangan : 1. Toh dan Chia (1977)
2. Stosic dan Kaykay (1981)
3. Narahari dan Kothdanaraman
(1983)
Kandungan energi metabolis bungkil
biji karet sebesar 2550 kkal/kg. Sementara itu kandungan lemak dalam
bungkil biji karet sekitar 3 sampai 13 persen. Lemak atau minyak yang masih
terdapat dalam bungkil biji karet mengandung 24 persen asam lemak
jenuh yang terdiri dari 11 persen asam palmitat, 12 persen asam stearat,
1 persen asam arakhidonat dan 76 persen asam lemak tidak
jenuh yang terdiri dari 24 persen asam linolenat, 35 persen
asam linoleat dan 17 persen asam oleat.
Racun dalam biji karet terdapat
dalam bentuk linamarin. Asam sianida dapat dinetralisasikan
dengan beberapa macam perlakuan.
Beberapa studi tentang mekanisme penurunan sianida dan
peningkatan reduksinya dapat dilakukan dengan suplementasi sulfur anorganik
maupun organik. Suplementasi sulfur akan menghasilkan
tiosianat, reaksi ini akan dibantu oleh rodanase (Nartey,
1973). Tiosianat akan dikeluarkan melalui urine
(Sudaryanto, 1990). Menurut
Marita (1988) pemberian garam ferosulfat dapat mengikat asam
sianida dalam pakan sehingga hilang sifat racunnya. Pemberian garam ferosulfat 12,7 kali
kandungan asam sianida pakan menunjukkan efek yang paling
baik. Menurut Gohl (1981) pakan
dapat disuplementasi dengan asam amino yang mengandung sulfur seperti
metionin, sistin dan sistein supaya menghasilkan penampilan yang baik bagi ayam
pedaging.
Perlakuan lain yang dapat diberikan untuk
mengurangi asam sianida pada bungkil biji karet adalah dengan
penyimpanan yang lama.
Perlakuan ini dapat menurunkan kandungan asam sianida (Toh dan
Chia, 1977; Ong dan Yeong, 1977).
Santoso (1987) menyatakan bahwa pengurangan asam sianida dalam bahan
pakan dapat dilakukan dengan pengeringan, perendaman dan
pemasakan. Cara pengeringan dapat
dilakukan dengan menggunakan sinar matahari dan dapat pula oven. Pengeringan dengan oven pada suhu 45 sampai
55oC selama 4 jam dapat menurunkan 75 persen kandungan
asam sianida (Nambisan, 1989) yang disitasi oleh Lubis (1989). Cara pemanasan dengan menggunakan sumber
panas matahari merupakan cara yang paling murah dan mudah dilakukan
peternak pedesaan (Abidin dan Hendratmo, 1985). Perendaman dalam air selama lima hari
dapat menurunkan asam sianida dari 97 persen menjadi 45
persen (Bourdoux et al., 1983). Banea-Mayambu (1997) menyatakan bahwa racun
sianida dapat dihilangkan dengan cara perendaman, perebusan, penggilingan dan
fermentasi.
Hasil penelitian dari Widodo menunjukkan bahwa perlakuan
fisik yaitu proses pemanasan dan ekstrusi pada bungkil biji karet secara umum
menurunkan kandungan sianida dan bahan ekstrak tanpa N dengan tetap
mempertahankan kandungan nutrisi bungkil biji karet. Semakin meningkat aras pemberian bungkil
biji karet sampai aras 30 persen semakin menurun nilai kinerja dan status
kesehatan ayam, dengan penurunan yang paling tajam terjadi pada aras pemberian
bungkil biji karet 20 dan 30 persen, sementara itu tidak terjadi penurunan yang
nyata antara aras pemberian bungkil biji karet 0 dengan 10 persen. Perlakuan pemanasan, ekstrusi dan
suplementasi kalsium sulfat pada bungkil biji karet tidak memp
Pengaruhi kinerja, nilai nutrisi dan status kesehatan
kecuali hanya meningkatkan berat hati ayam pedaging. Secara umum, semakin meningkat perlakuan
interaksi antara aras penggunaan bungkil biji karet pada semua proses
pengolahan bungkil biji karet yaitu pemanasan, ekstrusi dan suplementasi kalsium
sulfat semakin menurun kinerja dan status kesehatan, tetapi meningkatkan nilai
nutrisi ayam pedaging.
Oleh sebab itu disarankan proses pemanasan dan ekstrusi
dapat digunakan untuk mengurangi kandungan sianida dengan tanpa menurunkan
kandungan nutrisi bungkil biji karet.
Bungkil biji karet sebagai bahan pakan ayam pedaging dapat diproses
secara pemanasan, ekstrusi dan disuplementasi kalsium sulfat dengan
memperhatikan faktor kandungan sianida, sedangkan penggunaan bungkil biji karet
pada ayam pedaging tidak lebih dari aras 10 persen.
5.2.5. Tepung bulu
Tepung bulu dapat dijadikan sumber protein dengan
kandungan protein kasar lebih dari 44.7% (PK >20).
Produksi tepung bulu ini relatif mudah dengan peralatan
yang sederhana misalnya alat penggiling (grinding,hammer mill),
oven, panci dan wadah. Dari segi pemasaran produk ini sangat mudah dipasarkan
berkaitan dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan protein hewani yang berasal
dari daging ayam, telur, susu yang kebutuhan pakannya mendesak untuk dipenuhi.
Bahan baku utama bulu dapat mudah diperoleh terutama dari rumah potong hewan,
rumah pemotongan ayam, rumah makan, warung sate, Fried Chicken, serta
pusat pembuangan sampah.
Adapun proses pembuatan tepung bulu adalah sebagai
berikut:
1. Bahan baku dikumpulkan, dibersihkan kemudian direbus
untuk memisahkan lemak yang mungkin masih menempel
2.
Bahan kemudian direndam dengan air bercampur asam HCl, agar terjadi
pemutusan rantai-rantai atau ikatan protein yang tidak tercerna
3.
Bahan dicuci dan dibilas kembali, kemudian dilakukan pengeringan secara
terbuka atau dengan oven untuk mengurangi kadar air
4. Proses
yang terakhir adalah penggilingan
Minat
para peternak untuk menggunakan tepung tulang dan tepung bulu sebagai pakan
ternak unggas cukup baik. Harga penjualan jenis tepung ini sesuai pasaran yaitu
tepung bulu Rp 500/kg (berdasarkan harga bulan Maret 2000). Dengan harga yang
relatif murah diharapkan kebutuhan penyusunan ransum pakan ternak khususnya
pakan ternak unggas dapat tercukupi
Pakan asal by product umumnya memerlukan
pengolahan sebelum diberikan ke ternak mengingat banyaknya keterbatasan yang
dimiliki oleh bahan pakan tersebut. Tepung bulu ayam (TBA) misalya mempunyai
ikatan keratin yaitu sejenis protein berserat yang bersifat sukar larut dalam
air dan sulit dicerna oleh ternak unggas.
Tehnik pengolahan kombinasi antara perlakuan fisik dan
kimia merupakan teknik pengolahan yang saat in bayak dipakai oleh industri TBA.
Teknologi pengolahan TBA secara enzimatis mempergunakan enzim dari Baccillus
lichiiformis dan produk enzimnya sekarang ini mulai diperkenalkan. Hasil
penelitian yang dilaporkan dalam www.poultryindonesia.com (2003) tentang pengolahan tepung bulu dengan perlakuan enzim yang diujikan ada empat
yaitu: (1) tepung bulu ayam tanpa perlakuan (TBO) sebagai kontrol, (2) tepung
bulu ayam dengan perlakuan NaOH 0.4% dan di-autoclave (TBK), (3) tepung
bulu ayam dengan perlakuan fermentasi selama 11 hari menggunakan kapang Cuninghamella
spp (TBC) dan (4) tepung bulu yang diinkubasi dengan enzim keratinase (TBE)
sebanyak 10 ml/gram TBA menunjukkan bahwa pengolahan tepung
bulu ayam (TBA) nyata (P<0.05) menurunkan nilai ekskresi nitrogen serta
nyata (P<0.05) meningkatkan nilai retensi nitrogen pada ayam pedaging. Uji
kontras ortogonal memperlihatkan bahwa TBK dan TBE menghasilkan ekskresi
nitrogen yang sangat nyata (P<0.01) lebih rendah dibandingkan TBO dan TBC,
sedangkan ekskresi nitrogen perlakuan TBO nyata (P<0.05) lebih tinggi
dibandingkan dengan ekskresi nitrogen perlakuan TBC. Ekskresi nitrogen TBK
tidak berbeda nyata dibandingkan dengan TBE.
Ragi tape merupakan populasi campuran mikroba yang
terdapat beberapa jenis yaitu genus Aspergillus,
genus Saccharomises, genus Candida,
genus Hansnula, sedang bakterinya
adalah Acetobacter. Aspergillus
dapat menyederhanakan amilum, sedangkan Saccharomyces,
Candida dan Hansnula dapat menurunkan gula menjadi alkohol dan
bermacam-macam zat organik lainnya. Acetobacter mengubah alkohol menjadi
cuka. Secara fisiologis, ragi mempunyai
persamaan yaitu menghasilkan fermen atau enzim-enzim yang dapat mengubah substrat
menjadi bahan lain dengan mendapat keuntungan berupa energi. Adapun substrat yang diubah
berbeda-beda. Ragi tape serta bahan yang
akan dibuat tape dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Ragi
tape dan bahan tape berupa ketan dan singkong
Ragi tape sebenarnya adalah berupa mikroba Saccharomyces Cerevisiae yang dapat
mengubah karbohidrat. Sedang jamur yang
ada dalam ragi tape adalah jenis Aspergillus. Ragi tape merupakan inokulan yang mengandung kapang
aminolitik dan khamir yang mampu menghidrolisis pati. Kapang tersebut adalah Amilomyces rouxii, sedangkan khamir tersebut adalah Saccharomyces. Adapun mikroflora yang berperan pada ragi
tape adalah jenis Candida, Endomycopsis,
Hansnula, Amilomyces rouxii dan
Aspergillus Orizae. Proses pembuatan ragi tape dapat
dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Proses
pembuatan ragi tape
www.iptek.net.id/ind/warintek/
Beberapa keuntungan hasil fermentasi terutama adalah asam
asetat dan alkohol dapat mencegah pertumbuhan mikroba yang beracun di dalam
pakan misalnya Clostridium botulinum. Ragi yang bersifat katabolik atau memecah
komponen yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah
dicerna.
Ragi
menghasilkan enzim pitase yang dapat melepaskan ikatan fosfor dalam phitin,
sehingga dengan ditambahkan ragi tape dalam ransum akan menambah ketersediaan
mineral. Ragi bersifat katabolik atau
memecah komponen yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana sehingga lebih
mudah dicerna oleh ternak. Spesies Aspergillus flavus relatif tidak aktif
bila dibandingkan dengan jamur selulolitik yang lain, tapi enzim yang
dihasilkan oleh Aspergillus orizae
dan Aspergillus flavus mampu
mendegradasi sellulosa dan juga menghidrolisis xylon, maka dengan penambahan
ragi tape dapat meningkatkan kegiatan pencernaan dalam tubuh ternak sehingga
pertumbuhan ternak menjadi optimal.
Enzim
adalah biokatalisator protein untuk mengkatalisa reaksi-rekasi kimia pada
sistem biologis. Enzim adalah
katalisator yang bereaksi secara spesifik karena semua reaksi biokimia perlu
dikatalisis oleh enzim sehingga diperlukan banyak enzim. Sebagian besar reaksi sel-sel hidup
berlangsung sangat lamban bila reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim. Enzim adalah protein yang khusus disintesis
oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung di dalamnya. Enzim dapat ditambahkan dalam ransum untuk
mempercepat pencernaan ransum dan untuk mempertinggi penggunaannya.
Hasil
penelitian Rahman (1994) menunjukkan bahwa penambahan ragi tape dalam ransum
pedaging dengan level 0,03 - 0,06 persen pada ayam umur 0 - 6 minggu tidak
menunjukkan pengaruh antar perlakuan terhadap pertambahan bobot badan.
6.1.2. Getah Pepaya
Berdasarkan situs resmi Deptan, papain itu
mempunyai banyak manfaat. Produk itu kerap dicari untuk digunakan sebagai
pelunak daging, pembuat konsentrat protein, pelembut kulit, antidingin, bahan
obat dan kosmetik, penggumpal susu dan keju, konsentrat, perenyah kue dan feed additive pada ternak.
Pembuatan
papain juga terhitung sederhana. Petani cukup menderes batang atau buah,
kemudian diproses dengan zat tertentu.
Buah pepaya
sebagai sumber getah pepaya dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Bauh pepaya
Papain
adalah suatu enzim pemecah protein (enzim proteolotik) yang terdapat dalam
getah pepaya yang memiliki aktifitas proteolitik minimal 20 unit/gram preparat
dan tergolong kedalam senyawa organik komplek yang tersusun dari gugusan asam
amino. Papain adalah protease sulfihidril karena memiliki gugusan sulfihidril
(SH) pada bagian aktifnya.
Papain kali pertama ditemukan
pada tahun 1975 oleh Graffiti Hugges.
Papain seperti umumnya adalah protein yang mempunyai
komposisi asam amino tertentu sebagaimana terlihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Kandungan asam amino papain
No.
|
Asam amino
|
Jumlah g/100 g protein
|
Ntotal (%/100 g papain)
|
1.
|
Arginin
|
7,62
- 7,75
|
15,48
|
2.
|
Histidin
|
0,85
- 0,98
|
1,43
|
3.
|
Isoleusin
|
5,66
- 6,05
|
4,01
|
4.
|
Leusin
|
5,75
- 6,10
|
4,05
|
5.
|
Lisin
|
5,12
- 5,67
|
6,75
|
6.
|
Serin
|
5,03
- 5,91
|
4,89
|
7.
|
Fenilalanin
|
2,67
- 3,16
|
1,66
|
8.
|
Treonin
|
3,67
- 3,89
|
2,84
|
9.
|
Triptofan
|
4,40
- 4,68
|
3,98
|
10.
|
Valin
|
7,51
- 8,43
|
6,26
|
|
|
|
|
Sumber : Arief (1975)
Papain juga merupakan enzim protease
dan karena mengandung gugus sulfihidril
(SH) pada bagian aktifnya maka dikatakan protease sulfidril.
Cacing merupakan
endo parasit dimana kelangsungan
hidupnya tergantung pada penyesuaian diri dengan
induk semang, Cacing ini dapat
masuk ke dalam tubuh ternak ayam secara langsung maupun tidak langsung melalui perantara atau induk semang. Penyakit
cacing dapat menyerang pada umur berapapun. Anak-anak ayam sebelum
4 bulan kebanyakan menderita cacingan.
Gejala-gejala ayam yang terserang
penyakit yaitu pucat, lesu, kurus dan diikuti dengan sayap yang
menggantung serta kondisi yang berangsur-angsur
menurun dan kemudian diikuti dengan kematian karena
komplikasi.
Cacing A. galli terdapat pada usus halus bagian
tengah, dimana penularannya dapat secara
langsung dengan memakan telur cacing yang infektif. Tanda-tanda penyakit ini yaitu berat badan dan produksi
menurun, sedang pada infeksi berat terjadi penyumbatan usus atau diare,
pendarahan dan radang usus bahkan kematian.
Getah pepaya mengadakan reaksi kompleks dengan protein
yang terdapat pada tempat tubuh cacing Ascaridia galli dalam saluran
pencernaan. Reaksi yang terjadi adalah
hidrolisis protein menjadi polipeptida dan peptida dan selanjutnya menjadi asam
amino, sebab papain merupakan enzim proteolitik yang dapat menghidrolisis
protein. Adanya kandungan enzim papain
pada pepaya yang berperan sebagai
pencerna karena bersifat katalis merupakan
suatu enzim proteolitik yang mampu merusak
protein tubuh cacing dalam
saluran pencernan.
Reaksi yang terjadi pada enzim proteolitik papain adalah
hidrolisis menjadi polipeptida dan peptida, kemudian selanjutnya menjadi asam
amino. Mekanisme kerja enzim papain
khusus terhadap cacing dewasa berperan dalam merusak enzim-enzim yang dibutuhkan cacing yang ada didalam saluran pencernaan unggas sehingga suplai nutrisi
bagi cacing terproteksi dengan demikian kebutuhan
pencernaan untuk keperluan tubuh cacing
akan terhambat, selain itu pula papain dimungkinkan akan merusak protein
dan glikoprotein yang berperan dalam
transport hasil metabolime tubuh cacing sehingga akan berefek pada kematian
cacing dewasa, sehingga pengaruhnya pada
induk semang atau unggas adalah
nutrisi yang dikandung oleh pakan
yang dikonsumsi dapat
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup pokok maupun kebutuhan
berproduksi sehingga secara nyata efek yang diperoleh terjadi peningkatan
konsumsi dan konversi pakan.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Murcof (1998),
menyatakan bahwa pada kadar konsentrasi 20% getah pepaya efektif dalam
pengendalian infeksi Ascaridia galli
pada ayam petelur. Adapun pengobatan
dengan getah pepaya 20% pada ayam yang terinfeksi Ascaridia galli
menyebabkan kenaikan produksi telur ayam
setingkat dengan berat telur dari ayam yang bebas dari infeksi cacing tersebut.
Disarankan penggunaan papain sebagai obat cacing pada konsentrasi 20% dengan dosis 0,5 gr/kg BB ayam dalam 2,5
ml air memberikan hasil yang baik untuk membasmi cacing pada ternak unggas.
Hasil
penelitian Utami (1999) menunjukkan bahwa pemberian getah pepaya sebagai
anthelmintika (obat cacing) berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi
pakan. Semakin tinggi tingkat pemberian
getah pepaya sampai level 0,75 gram/kg bobot badan menyebabkan penurunan konsumsi
pakan yang diikuti dengan pertambahan bobot badan ayam buras. Pemberian getah pepaya sebagai anthelmintika
berpengaruh sangat nyata terhadap konversi pakan. Semakin tinggi tingkat pemberian getah pepaya
sampai level 0,75 gram/kg bobot badan menyebabkan semakin menurunnya konversi
pakan ayam buras. Saran yang disampaikan
adalah pengobatan penyakit cacing pada ayam buras menggunakan getah pepaya
dengan dosis 0,5 g/kg bobot badan karena konsumsi dan konversi pakan menurun
tetapi diikuti oleh pertambahan bobot badan yang meningkat sehingga efisiensi
pakan meningkat. Saran lainnya adalah
pemberian getah pepaya dapat diberikan pada ayam buras yang tidak terinfeksi
penyakit cacing karena getah pepaya dapat meningkatkan daya cerna sehingga
pertumbuhan dapat meningkat pula.
Tapak dara termasuk suku kamboja-kambojaan yang banyak
dipelihara sebagai tanaman hias. Tapak
dara sering dibedakan menurut jenis bunganya, yaitu putih dan merah. Tanaman tapak
dara dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Tanaman tapak dara
Daun dan bunga tapak dara apabila direbus dengan air
dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol darah. Di samping itu juga dapat digunakan untuk
perangsang nafsu makan ayam, dengan pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan yang
dibutuhkan oleh ayam, sehingga ayam mampu mengkonsumsi pakan secara optimal dan
akan diperoleh pertumbuhan bobot badan yang baik. Daun
dan bungan tapak dara dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Daun dan bunga tapak
dara
Kandungan nutrisi tapak dara pada akar, daun dan biji
meliputi lebih dari 70 macam alkaloid, termasuk 28 buah indole alkaloid. Komponen-komponen alkaliod diantaranya adalah
vinblastine, leurosidine, dan catharantine. Alkaloid yang berefek hipoglemic (menurunkan
kadar kandungan gula darah) antara lain leurosine, catharantine,
lochnerrine, tetrahidroalstonine, dan vindoline.
Hasil penelitian Iskandar (1996) tentang pengaruh
pemberian ekstrak tapak dara (catharanthus roseus) terhadap pertambahan
bobot badan, konversi dan efisiensi pada ayam pedaging jantan menunjukkan
pengaruh yang sangat nyata, tetapi tidak mempengaruhi konsumsi pakan. Pemberian sampai 40% ekstrak tapak dara
menunjukkan kenaikan yang signifikan sehingga disarankan untuk meneliti lebih
jauh dengan kadar yang lebih besar sehingga akan ditemukan konsentrasi yang
optimal untuk ayam pedaging.
Temulawak merupakan famili zingiberaceae yang
berumur tahunan membentuk banyak batang semu, yang tingginya bisa mencapai dua
meter. Temulawak membentuk induk rimpang
yang silindris, berbuku-buku, berdiameter hingga 5 cm lebih dan tingginya tidak
kurang dari 10 cm membentuk cabang rimpang ke kanan dan ke kiri. Temulawak merupakan tanaman hutan namun dapat
tumbuh di daerah agak cerah. Akarnya
dapat membentuk umbi akar. Sistematika
tumbuhan temulawak adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies :
Curcuma xanthorrhiza roxb
Masyarakat telah
lama dan banyak menggunakan temulawak sebagai obat tradisional untuk
menyembuhkan berbagai macam penyakit antara lain sebagai obat sembelit,
kejang-kejang, penambah nafsu makan, penambah darah, radang lambung, gangguan
aliran sekresi getah empedu dan penurun panas.
Gambar 5.1. Tanaman temulawak
Rimpang
temulawak mengandung zat kurkumin 1,4 - 4% yang merupakan senyawa aktif tanaman
curcuma dan dapat meningkatkan pengeluaran cairan empedu. Zat kurkumin ini terdiri dari dua bagian yaitu
desmitoksikurkumin dan kurkumin. Kadar
minyak atsiri rimpang temulawak mencapai 7,3 – 29,5%. Kandungan pati berkisar 37,2 - 61%. Temulawak mempunyai bau aromatik dan rasanya
pahit. Komposisi nutrisi temulawak dapat
dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2. Kandungan nutrisi ekstrak temulawak
No.
|
Zat
makanan
|
Kandungan
|
|
|
|
1.
|
Pati*
|
48.18
– 59.64
|
2.
|
Abu
|
5.28
– 7.07
|
3.
|
Serat
|
5.28
– 4.83
|
4.
|
Kurkumin
|
1.60
– 2.20
|
5.
|
Minyak
atsiri
|
7.30
– 29.50
|
|
|
|
6.
|
Air**
|
14.60
|
7.
|
Lemak
|
0.90
|
8.
|
Protein
|
5.00
|
9.
|
Mineral
|
3.50
|
|
|
|
Sumber
: * Rukmana (1995)
** Purnomowati (1995)
Zat
kurkumin yang memberi warna kuning pada rimpang ini diketahui bersifat anti
bakteri dan anti inflamasi. Zat-zat ini
yang berguna untuk mengatasi peradangan jaringan. Sedangkan keterlibatannya dalam memperlancar
proses pencernaan tidak terlepas dari kerjasama antara kurkumin dengan minyak
atsiri. Disamping itu zat kurkumin
berguna untuk mencegah dan mengobati beberapa penyakit pada organ tubuh antara
lain penyakit hati, kantung empedu, saluran pencernaan, pankreas dan usus halus. Pada Tabel 6.3 dapat dilihat kandungan minyak
atsiri ekstrak temulawak.
Tabel 6.3. Kandungan minyak atsiri ekstrak temulawak
No.
|
Minyak
atsiri
|
Kandungan
|
|
|
|
1.
|
Kamfer
|
6.00
|
2.
|
Xanthorrizol
|
2.24
|
3.
|
Borneol
|
0.32
|
4.
|
Turmerol
|
0.46
|
5.
|
Phelandren
|
+
|
6.
|
Sineal
|
+
|
|
|
|
Sumber
: Purnomowati (1995)
Kurkuminoid
adalah senyawa aktif tanaman curcuma yang merupakan kolagoga aromatik yang
bekerja lebih kolikinetik yaitu merupakan kemampuan empedu untuk mengeluarkan
garam-garam empedu yang mempunyai fungsi mengaktifkan lipase dalam cairan
pankreas, mengemulsi lemak, membantu absorpsi lemak dan vitamin larut dalam
lemak, sebagai perangsang aliran cairan empedu dari hati dan menjaga kolesterol
tetap larut dalam cairan empedu sebab bila perbandingan asam empedu dengan
kolesterol rendah akan menyebabkan terjadinya endapan kolesterol. Rimpang temulawak dapat dilihat pada Gambar
5.1.
Gambar 5.1. Rimpang temulawak
Sedangkan hasil penggunaan temulawak sebagai minuman pada
ternak kelinci betina menunjukkan bahwa tidak terdapat lemak di dalam tubuh
pada karkas dan jaringan lemak di di sekitar organ reproduksi.
Penimbunan lemak tubuh secara keseluruhan maupun lemak di
sekitar organ reproduksi dapat mengganggu fungsi organ reproduksi ternak
sehingga menurunkan tingkat fertilitasnya, selain itu juga ditunjukkan bahwa
peningkatan aras temulawak yang dikonsumsi secara teratur dan lama menyebabkan
kecenderungan penurunan banyaknya lemak tubuh yang ditimbun pada kelinci
betina. Adapun pembuatan tepung
temulawak dapat dillihat pada Gambar 3.4.
Minyak atsiri mempunyai bau yang khas dan karakteristik
tertentu karena mengandung minyak atsiri sebesar 7,3% - 29,5% dari berat kering. Kurkumin juga mempunyai sifat yang dapat menghambat
perkembangan bakteri karena bersifat
antiseptik. Sedangkan alkoholnya dapat
menghambat perkembangan berbagai jasad renik.
Hasil penelitian Boediarso (1996) dengan judul pengaruh
pemberian temulawak (curcuma xanthorrhiza) kering dalam ransum terhadap
penampilan ayam pedaging strain Bromo menunjukkan kesimpulan bahwa penambahan
tepung temulawak dalam ransum tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot
badan, konsumsi pakan dan efisiensi pakan ayam pedaging. Dosis penambahan temulawak sebesar 2%
merupakan dosis terbaik karena dapat menunjukkan peningkatan pertambahan bobot
badan ayam pedaging yang diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah
dibandingkan dengan perlakuan yang lain meskipun secara statistik tidak
didapatkan perbedaan yang nyata.
Temulawak
segar
|
||||||||
|
||||||||
|
||||||||
Pendidihan:
- menghilangkan udara
- menghentikan reaksi kimia
- membunuh jamur
- mempertahankan warna
|
||||||||
|
||||||||
|
Penentuan dosis temulawak yang diberikan pada ayam
pedaging mengacu pada dosis yang diberikan pada anak dengan berat badan 10 kg dengan
temulawak sebesar 0,3 kg, berpedoman dari Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tentang Pemanfaatan Tanaman Obat, kemudian diaplikasikan ke ternak
sebesar 1/10 dari berat badan anak, sehingga didapatkan untuk ayam pedaging
sebesar 1%, 2%, 3% temulawak dari 100 kg pakan.
Hasil
penelitian Setyaningsih (1999) menunjukkan bahwa penambahan kurkuminoid
temulawak dalam pakan sampai 100mg/kg BB mempengaruhi penurunan konsumsi pakan
ayam pedaging, tetapi sebaliknya meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi
pakan. Disarankan untuk menggunakan
kurkuminoid temulawak dengan dosis 75 mg/kg BB supaya dapat memberikan hasil
yang optimal pada ayam pedaging.
Kunyit (Curcuma domestica atau Curcuma longa)
mempunyai beberapa nama dearah di Indonesia yaitu kunyet (Aceh), Kunyir
(Lampung), Koneng (Jawa Barat), Kunir (Jawa), Konyet (Madura), Uni (Toraja),
Hunik (Timor), Nikwai (Irian Jaya), Lawahu (Gorontalo) dan Henda (Kalimantan). Tanaman kunyit pada mulanya diperkenalkan ke
dunia ilmu pengetahuan dengan nama Curcuma longa koen. Pada tahun 1918 oleh Valenton diusulkan nama
baru yaitu Curcuma domestica, karena nama tersebut telah digunakan untuk
jenis rempah lainnya. Taksonomi tanaman
kunyit adalah sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies :
Curcuma domestica
Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara dan Asia Selatan
dan sekarang banyak dijumpai di India, Cina dan Himalaya. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah tropis dan
sub tropis. Di Indonesia dapat tumbuh
sepanjang tahun di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi sampai 2.000 m
dari permukaan laut. Suhu udara yang
optimal untuk pertumbuhan kunyit berkisar antara 19 - 30oC, dan
curah hujan 1.500 - 4.000 mm per tahun. Tanaman kunyit dapat dilihat pada
Gambar 5.1.
Gambar
5.1. Tanaman kunyit
Rimpang
kunyit dapat dilihat pada Gambar 5.1.
|
Gambar 5.1. Rimpang kunyit
Komponen utama zat nutrisi rimpang kunyit adalah pati
dengan kisaran 40 - 50% berat kering.
Zat kurkuminoid
mempunyai khasiat anti bakteri dan dapat merangsang dinding kantung empedu
sehingga dapat memperlancar metabolisme lemak. Cairan garam empedu adalah suatu
cairan berwarna kuning kehijauan yang mengandung kolesterol, fosfolipid lesitin
serta pigmen empedu. Empedu mengandung sejumlah garam hasil dari percampuran
antara natrium dan kalium dengan asam-asam empedu (asam glikokolat dan
taurokolat). Garam-garam ini bercampur dengan lemak di dalam usus halus untuk
membentuk misel. Jika misel sudah dapat
terbentuk, maka lemak dapat dicerna.
Garam empedu bersifat basa yang dapat membantu dalam menciptakan suasana
sedikit alkalis dalam chyme intestinal (bentuk cairan semi padat dari
makanan, air dan cairan lambung) agar absorpsi berlangsung lancar.
Minyak atsiri
adalah cairan yang diperoleh dari ekstraksi kunyit. Minyak atsiri yang terdandung dalam kunyit berkhasiat
untuk mengatur keluarnya asam lambung agar tidak berlebihan dan mengurangi
pekerjaan usus yang terlalu berat dalam pencernaan zat-zat makanan. Minyak atsiri yang mengontrol asam lambung
agar tidak berlebihan dan tidak kekurangan menyebabkan isi lambung tidak
terlalu asam, sehingga apabila isi lambung tersebut masuk ke duodenum, maka
kerja enzim pankreas yang disekresikan ke duodenum untuk menurunkan keasaman chyme
semakin cepat dan semakin cepat pula terserap.
Hasil penelitian
Agustiana (1996) menunjukkan bahwa penambahan tepung kunyit dalam ransum ayam
pedaging sampai taraf 0,6% tidak mempengaruhi konsumsi, berat badan,
pertambahan berat badan dan konversi pakan.
Sementara itu hasil penelitian Kuntoro (2000) menunjukkan bahwa
penambahan ekstrak kunyit sampai aras 1,2% dalam pakan ayam pedaging ternyata
menurunkan jumlah konsumsi dan konversi pakan, tetapi menaikkan pertambahan
bobot badan.
Tumbuhan
bawang putih umumnya diambil umbinya atau akarnya sebagai bagian dari kebutuhan
manusia sebagai bumbu dapur ataupun obat-obatan. Klasifikasi bawang putih dapat digambarkan
sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Liliflorae
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies :
Allium sativum L.
Bawang putih berasal dari Asia Tengah, antara lain Cina
dan Jepang yang beriklim subtropis, kemudian bawang putih menyebar ke seluruh
Asia, Eropa dan akhirnya ke seluruh dunia.
Tanaman bawang putih
dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Tanaman bawang putih
Bawang
putih termasuk dalam famili Liliaceae, genus Allium. Genus ini meliputi ribuan spesies namun yang
dibudidayakan hanya beberapa saja antara lain: bawang putih, bawang merah,
bawang prei, bawang benang, bawang kulai dan bawang ganda.
Gambar 5.1. Umbi bawang putih
Kadar
gizi umbi bawang putih termasuk lengkap yang terdiri dari protein, lemak,
karbohidrat, vitamin, kalsium, fosfor, besi dan belerang. Tetapi bawang putih mempunyai zat nutrisi
khusus yaitu berupa ikatan asam amino yang disebut allicin. Allicin adalah komponen utama pemberi aroma
bawang putih dan merupakan zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-kuman
penyakit (bersifat anti bakteri).
Allicin pada bawang putih juga mampu membunuh mikroba penyebab
tuberkulosis, difteri, tipoid disentri, dan gonorrhoe. Disamping itu juga dapat menangkal asma, cacingan dan
gatal-gatal. Bawang putih juga
mengandung minyak atsiri antara 0,1 – 0,5% yang berisi dialil disulfida,
alilpropil disulfida dan senyawa sulfur organik lainnya. Kandungan nutrisi bawang putih dapat
dilihat pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4.
Kandungan nutrisi ekstrak bawang putih
No.
|
Zat
makanan
|
Kandungan
|
|
|
|
1.
|
Air
|
66.2-71.0
g
|
2.
|
Energi
|
95.0-122
g
|
3.
|
Lemak
|
0.2-0.3
g
|
4.
|
Protein
|
4.5-7.0
g
|
5.
|
Karbohidrat
|
23.0-24.0
g
|
6.
|
Ca
|
26.0-42.0
mg
|
7.
|
P
|
15.0-19.0
mg
|
8.
|
K
|
346.0
mg
|
|
|
|
Sumber
: * Palungkun (1993)
Kegunaan allicin antara lain adalah sebagai zat
antibiotik, penunjang pengobatan diabetes, anti rematik, obat kekurangan sel
darah merah, mempercepat pertumbuhan, dan mencegah penggumpalan darah. Pemberian dosis ekstrak bawang putih sebesar
2 - 8 gram dapat digunakan sebagai obet antiseptik, antipasmodik dan anti
iritasi.
Berdasarkan hasil penelitian Rokhman (2001) menunjukkan
bahwa penambahan larutan bawang putih sebagai anthelmintika ternyata
mempengaruhi konsumsi dan konversi pakan pakan ayam buras penderita parasit
cacing. Dosis 10 g/15 ml per ekor
larutan bawang putih menunjukkan tingkat konsumsi yang terbaik dibandingkan
dengan pemberian 5 g/15 ml per ekor.
6.2.1. Pupuk
pelengkap cair
Pupuk
pelengkap cair adalah merupakan pupuk yang digunakan sebagai bahan untuk
meningkatkan produktifitas tanaman, tetapi selain itu juga untuk meningkatkan
produktifitas ternak.
Hasil penelitian Siswati (1996) menunjukkan bahwa
penambahan pupuk pelengkap cair dalam air minum dengan level 0,01 persen, 0,02
persen dan 0,03 persen pada ayam umur 0 - 6 minggu tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan konversi pakan.
Sumber :
Dr. Ir. Wahyu Widodo, MS.
Dr. Ir. Wahyu Widodo, MS.
Mohon
ijin, materi diberikan untuk SMK Negeri 1 Tulang Bawang Tengah jurusan
peternakan, terima kasih.
Dapatkan berita seputar ayam hanya di rajasabungs128
BalasHapus